Peran tenaga medis baik di fasyankes pemerintah maupun swasta menjadi hal yang sangat penting dalam penanggulangan TB. Persoalan medis maupun sosial yang diakibatkan dari TB masih menjadi momok yang perlu perhatian khusus sampai sekarang. Berdasarkan Global TB Report Indonesia termasuk delapan negara yang menyumbangkan 2/3 kasus TB diseluruh dunia, menempati posisi ketiga setelah India dan China dengan estimasi kasus sebanyak 824.000.
Dari data didapatkan cakupan penemuan dan pengobatan kasus TB (treatment coverage) di Indonesia pada tahun 2021 baru mencapai 47%. Untuk Jabar sedikit lebih tinggi dari capaian nasional yaitu mencapai 55 % . Ada data yang sangat menarik dan perlu analisa lebih lanjut yaitu data kasus TB resisten obat ada , dimana ada 1109 tapi yang mulai berobat baru 587, sehingga ada 522 yang belum berobat dan ini menjadikan sumber penularan TB RO di populasi.
Karena itu dibutuhkan tenaga medis yang memiliki kompetensi dalam penemuaan dan pengobatan TB, yang diharapkan bisa berkontribusi dalam eliminasi TB. Dan tentu saja ini tidak bisa dikerjakan sendiri oleh tenaga medis, karena itu diperlukan kolaborasi dan kemitraan yang saling melengkapi dari berbagai sektor akan menjadi kunci utama keberhasilan program untuk mencapai targetya eliminasi TB tahun 2030.
Diabetes Melitus adalah salah satu penyakit tidak menular kronis dan menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Penyandang DM memiliki system kekebalan tubuh yang melemah sehingga memiliki kemungkinan tiga kali lebih tinggi untuk mendapatkan TB aktif. Hal ini menyebabkan kasus TB lebih banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2 dibandingkan dengan populasi umum. Komorbid DM pada penderita TB memperburuk hasil pengobatan TB, meningkatkan resiko kematian selama pengobatan TB dan kekambuhan yang lebih tinggi paska pengobatan serta mempersulit control kadar gula darah.
Besarnya dampak yang akan ditimbulkan TBDM ini pada peningkatan angka kesakitan, kecacatan, timbulnya kasus MDR baru dan kematian dini, tentunya akan berdampak secara langsung terhadap beban ekonomi kesehatan serta kualitas SDM suatu bangsa. TB-DM dapat menjadi “The Next Health Tsunami” bila tidak dikelola dengan baik. Kolaborasi interpersonal penanganan TB-DM sangat diperlukan, saat ini penanganan bukan hanya di lini pengobatan, tetapi juga diperlukan dari hulu ke hilir mulai dari tahap penyuluhan, pencegahan, penapisan, pengobatan, pengawasan minum obat, hingga evaluasi pengobatan.
Peran SpKKLP sebagai Spesialis yang baru,
sangat dibutuhkan baik kolaborasi dengan DINKES, GP setempat hingga kolaborasi
dengan Spesialis yang lain.
Rekam Medis yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam
tahapan pencegahan hulu kasus TB-DM, dimana skrining awal yang mungkin tidak
terdeteksi dapat memungkinkan diketahui berdasarkan informasi yang dihimpun
secara holistik. Penanganan yang baik juga dimungkinkan dengan kolaborasi antara
SpKKLP, GP, Puskesmas dalam pemberian OAT, pencatatan dan pelaporannya,
intervensi komunitas, pemantauan dan juga kolaborasi rujukan berjenjang kepada
spesialis terkait SpPD maupun SpP untuk penanganan yang tidak dapat ditangani di
layanan primer. Teknik komunikasi yang baik antara pasien dan keluarga diperlukan
dalam meningkatkan kepatuhan pasien minum obat, baik itu obat TB maupun DM.
Karena pemanfaatan telemedicine juga merupakan isu populer di kalangan medis saat
ini, pembahasan teknik telekomunikasi yang baik diperlukan dalam penanganan