Cakupan penemuan kasus TBC pada Tahun 2022 mencapai angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir, namun capaian ini belum mencapai target yang diharapkan yaitu 90% dari estimasi beban kasus TBC di Indonesia. Adapun tantangan program TBC di Indonesia, diantaranya; 1) belum semua fasyankes berkontribusi dalam penemuan dan pelaporan TBC, 2) fasyankes yang terlibat dalam penemuan kasus TBC belum melaporkan semua penemuan kasus ke SITB (under-reporting cases), dan 3) kepatuhan pengobatan dan angka keberhasilan pengobatan TBC yang belum mencapai target. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC menegaskan bahwa setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menemukan kasus TBC wajib melaporkan kepada dinas kesehatan daerah kabupaten/kota. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC mewajibkan setiap fasyankes wajib melakukan pencatatan dan pelaporan kasus TBC yang ditemukan dan/atau diobati secara terpadu dan terintegrasi melalui aplikasi Sistem Informasi TBC (SITB). Saat ini, sebagian besar notifikasi TBC berasal dari fasyankes milik pemerintah. Jika ditinjau berdasarkan kontribusi notifikasi TBC pada tahun 2022, sebanyak 82% RS Pemerintah, 77% RS Swasta dan 9% DPM/Klinik swasta telah melaporkan notifikasi kasus TBC. Sementara pada TW 1 2023, baru 81% RS Pemerintah, 73% RS Swasta dan 4% DPM/Klinik Swasta yang lapor. Sebagai upaya percepatan eliminasi TBC 2030 perlu dilakukan peningkatan keterlibatan fasyankes, baik milik pemerintah maupun swasta untuk mendukung program TBC melalui implementasi Public Private Mix (PPM) di tingkat kabupaten/kota. Adapun upaya peningkatan pelibatan (engagement) ini akan dilakukan melalui berbagai upaya, yaitu dengan pertemuan advokasi, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, supervisi dan in-house training yang ditujukan untuk rumah sakit yang belum pernah terlibat (un-engaged) dalam program TBC dan jejaring layanan TBC.