Pembangunan kesehatan menyebutkan bahwa arah kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yaitu meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta dengan penekanan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care) dan peningkatan upaya promotif dan preventif didukung oleh inovasi dan pemanfaatan teknologi. Salah satu strategi RPJMN 2020-2024 tersebut adalah meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak.
Namun, masih banyak masalah gizi yang dihadapi oleh Indonesia dan bahkan semakin kompleks saat ini, salah satunya adalah masalah stunting (anak pendek). Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita di Indonesia, antara lain sebanyak 17,7 % balita gizi kurang di Indonesia (BB/U), sebanyak 30,8 % balita mengalami Stunting (PB/U atau TB/U), dan 10,2 % balita dalam kondisi kurus (BB/PB atau BB/TB). RPJMN 2020-2024 menetapkan target prevalensi stunting pada balita adalah 14%.
Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai berikut
: (1) Menyusui segera dalam waktu satu jam pertama setelah bayi lahir (Inisiasi Menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan, (3) Mulai memberikan Makanan Pendamping ASI (MP ASI) yang baik dan benar sejak bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih.
Kepmenkes No. 450/2004 dan PP 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia menyebutkan beberapa ketetapan termasuk penetapan mengenai pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai dengan usia anak 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai. Selain itu telah ditetapkan juga bahwa tenaga kesehatan agar menginformasikan kepada ibu mengenai anjuran ASI eksklusi yang mengacu pada 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM).
Data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) memperlihatkan terjadinya penurunan prevalensi ASI Eksklusif dari 64,5% pada tahun 2018 menjadi 52,5% pada tahun 2021. Hal ini belum sesuai dengan target pemerintah yaitu 80% ibu memberikan ASI eksklusif. Salah satu penyebab kurang berhasilnya target pemerintah adalah kurangnya dukungan dari tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan dukungan melalui 10 LMKM. Peran tenaga kesehatan sangat vital dalam memberikan dukungan menyusui kepada ibu.
Upaya peningkatan pemberian ASI eksklusif perlu dilanjutkan dan terus ditingkatkan, yaitu melalui kegiatan diantaranya adalah memberdayakan ibu dan meningkatkan dukungan anggota keluarga agar semakin banyak bayi baru lahir yang melakukan inisiasi menyusu dini, dan semakin banyak ibu mampu menyusui dengan benar; meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan menyediakan tenaga konselor menyusui di sarana pelayanan kesehatan, dan revitalisasi sarana pelayanan kesehatan sayang ibu dan bayi; dan menciptakan lingkungan
kondusif yang memungkinkan ibu tetap menyusui sebagaimana mestinya. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut, keberadaan tenaga konselor menyusui menjadi sangat penting.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa peranan tenaga konselor menyusui sangat besar terhadap peningkatan pemberdayaan ibu, peningkatan dukungan anggota keluarga serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang pada gilirannya akan meningkatkan cakupan pemberian ASI secara eksklusif di Indonesia. Tenaga konselor menyusui diperoleh melalui suatu proses pelatihan konseling menyusui dengan menggunakan standar kurikulum atau modul yang baku. Selama ini standar kurikulum atau modul pelatihan konseling menyusui menggunakan modul WHO/UNICEF metode 40 jam yang telah diakui secara internasional. Ketersediaan konselor menyusui saat ini belum menjangkau seluruh kabupaten/kota. Oleh karena itu keberadaan tenaga konselor menyusui perlu terus ditingkatkan.
Seiring dengan era desentralisasi dimana setiap daerah dimungkinkan untuk melaksanakan pelatihan konseling menyusui dan bahkan pelatihan pelatih konseling menyusui, maka untuk menjamin kualitas pelatihan yang optimal diperlukan standarisasi penyelenggaraan pelatihan. Berdasarkan kepentingan tersebut maka disusun kurikulum Kurikulum Pelatihan Konseling Menyusui.